Selasa, 01 April 2014

Kisah Sahabat Nabi : Salman Al-Farisi "Sang Pemburu Kebenaran"


Dari Abdullah bin Abbas Radhiallaahu ‘anhu berkata, “Salman al-Farisimenceritakan biografinya kepadaku dari mulutnya sendiri. Dia berkata, ‘Aku seorang lelaki Persia dari Isfahan, warga suatu desa bernama Jai. Ayahku adalah seorang tokoh masyarakat yang mengerti pertanian. Aku sendiri yang paling disayangi ayahku dari semua makhluk Allah. Karena sangat sayangnya aku tidak diperbolehkan keluar rumahnya, aku diminta senantiasa berada di samping perapian, aku seperti seorang budak saja.
Aku dilahirkan dan membaktikan diri di lingkungan Majusi, sehingga aku sebagai penjaga api yang bertanggung jawab atas nyalanya api dan tidak membiarkannya padam.
Ayahku memiliki tanah perahan yang luas. Pada suatu hari beliau sibuk mengurus bangunan. Beliau berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, hari ini aku sibuk di bangunan, aku tidak sempat mengurus tanah, cobalah engkau pergi ke sana!’ Beliau menyuruhku melakukan beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan.
Aku keluar menuju tanah ayahku. Dalam perjalanan aku melewati salah satu gereja Nasrani. Aku mendengar suara mereka yang sedang sembahyang. Aku sendiri tidak mengerti mengapa ayahku mengharuskan aku tinggal di dalam rumah saja (melarang aku keluar rumah).
Tatkala aku melewati gereja mereka, dan aku mendengar suara mereka sedang shalat maka aku masuk ke dalam gereja itu untuk mengetahui apa yang sedang mereka lakukan?
Begitu aku melihat mereka, aku kagum dengan shalat mereka, dan aku ingin mengetahui peribadatan mereka. Aku berkata dalam hati, ‘Demi Allah, ini lebih baik dari agama yang kita anut selama ini.’
Demi Allah, aku tidak beranjak dari mereka sampai matahari terbenam. Aku tidak jadi pergi ke tanah milik ayahku. Aku bertanya kepada mereka, ‘Dari mana asal usul agama ini?’ Mereka menjawab, ‘Dari Syam (Syiria).’
Kemudian aku pulang ke rumah ayahku. Padahal ayahku telah mengutus seseorang untuk mencariku. Sementara aku tidak mengerjakan tugas dari ayahku sama sekali. Maka ketika aku telah bertemu ayahku, beliau bertanya, ‘Anakku, ke mana saja kamu pergi?
Bukankah aku telah berpesan kepadamu untuk mengerjakan apa yang aku perintahkan itu?’ Aku menjawab, ‘Ayah, aku lewat pada suatu kaum yang sedang sembahyang di dalam gereja, ketika aku melihat ajaran agama mereka aku kagum. Demi Allah, aku tidak beranjak dari tempat itu sampai matahari terbenam.’
Ayahku menjawab, ‘Wahai anakku, tidak ada kebaikan sedikitpun dalam agama itu. Agamamu dan agama ayahmu lebih bagus dari agama itu.’ Aku membantah, ‘Demi Allah, sekali-kali tidak! Agama itu lebih bagus dari agama kita.’ Kemudian ayahku khawatir dengan diriku, sehingga beliau merantai kakiku, dan aku dipenjara di dalam rumahnya.
Suatu hari ada serombongan orang dari agama Nasrani diutus menemuiku, maka aku sampaikan kepada mereka, ‘Jika ada rombongan dari Syiria terdiri dari para pedagang Nasrani, maka supaya aku diberitahu.’ Aku juga meminta agar apabila para pedagang itu telah selesai urusannya dan akan kembali ke negrinya, memberiku izin bisa menemui mereka.
Ketika para pedagang itu hendak kembali ke negrinya, mereka memberitahu kepadaku. Kemudian rantai besi yang mengikat kakiku aku lepas, lantas aku pergi bersama mereka sehingga aku tiba di Syiria.
Sesampainya aku di Syiria, aku bertanya, ‘Siapakah orang yang ahli agama di sini?’ Mereka menjawab, ‘Uskup (pendeta) yang tinggal di gereja.’ Kemudian aku menemuinya. Kemudian aku berkata kepada pendeta itu, ‘Aku sangat mencintai agama ini, dan aku ingin tinggal bersamamu, aku akan membantumu di gerejamu, agar aku dapat belajar denganmu dan sembahyang bersama-sama kamu.’ Pendeta itu menjawab, ‘Silahkan.’
Maka akupun tinggal bersamanya.
Ternyata pendeta itu seorang yang jahat, dia menyuruh dan menganjurkan umat untuk bersedekah, namun setelah sedekah itu terkumpul dan diserahkan kepadanya, ia menyimpan sedekah tersebut untuk dirinya sendiri, tidak diberikan kepada orang-orang miskin, sehingga terkumpullah 7 peti emas dan perak.
Aku sangat benci perbuatan pendeta itu. Kemudian dia meninggal. Orang-orang Nasrani pun berkumpul untuk mengebumikannya. Ketika itu aku sampaikan kepada khalayak, ‘Sebenarnya, pendeta ini adalah seorang yang berperangai buruk, menyuruh dan menganjurkan kalian untuk bersedekah. Tetapi jika sedekah itu telah terkumpul, dia menyimpannya untuk dirinya sendiri, tidak memberikannya kepada orang-orang miskin barang sedikitpun.’
Mereka pun mempertanyakan apa yang aku sampaikan, ‘Apa buktinya bahwa kamu mengetahui akan hal itu?’ Aku menjawab, ‘Marilah aku tunjukkan kepada kalian simpanannya itu.’ Mereka berkata, Baik, tunjukkan simpanan tersebut kepada kami.’
Lalu Aku memperlihatkan tempat penyimpanan sedekah itu. Kemudian mereka mengeluarkan sebanyak 7 peti yang penuh berisi emas dan perak. Setelah mereka menyaksikan betapa banyaknya simpanan pendeta itu, mereka berkata, ‘Demi Allah, selamanya kami tidak akan menguburnya.’ Kemudian mereka menyalib pendeta itu pada tiang dan melempari jasadnya dengan batu.
Kemudian mereka mengangkat orang lain sebagai penggantinya. Aku tidak pernah melihat seseorang yang tidak mengerjakan shalat lima waktu (bukan seorang muslim) yang lebih bagus dari dia, dia sangat zuhud, sangat mencintai akhirat, dan selalu beribadah siang malam. Maka aku pun sangat mencintainya dengan cinta yang tidak pernah aku berikan kepada selainnya. Aku tinggal bersamanya beberapa waktu.
Kemudian ketika kematiannya menjelang, aku berkata kepadanya, ‘Wahai Fulan, selama ini aku hidup bersamamu, dan aku sangat mencintaimu, belum pernah ada seorangpun yang aku cintai seperti cintaku kepadamu, padahal sebagaimana kamu lihat, telah menghampirimu saat berlakunya taqdir Allah, kepada siapakah aku ini engkau wasiatkan, apa yang engkau perintahkan kepadaku?’
Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, demi Allah, sekarang ini aku sudah tidak tahu lagi siapa yang mempunyai keyakinan seperti aku.
Orang-orang yang aku kenal telah mati, dan masyarakatpun mengganti ajaran yang benar dan meninggalkannya sebagiannya, kecuali seorang yang tinggal di Mosul (kota di Irak), yakni Fulan, dia memegang keyakinan seperti aku ini, temuilah ia di sana!’
Lalu tatkala ia telah wafat, aku berangkat untuk menemui seseorang di Mosul. Aku berkata, ‘Wahai Fulan, sesungguhnya si Fulan telah mewasiatkan kepadaku menjelang kematiannya agar aku menemuimu, dia memberitahuku bahwa engkau memiliki keyakinan sebagaimana dia.’
Kemudian orang yang kutemui itu berkata, ‘Silahkan tinggal bersamaku. Aku pun hidup bersamanya.’ Aku dapati ia sangat baik sebagaimana yang diterangkan Si Fulan kepadaku. Namun ia pun dihampiri kematian. Dan ketika kematian menjelang, aku bertanya kepadanya, ‘Wahai Fulan, ketika itu si Fulan mewasiatkan aku kepadamu dan agar aku menemuimu, kini taqdir Allah akan berlaku atasmu sebagaimana engkau maklumi, oleh karena itu kepada siapakah aku ini hendak engkau wasiatkan? Dan apa yang engkau perintahkan kepadaku?’
Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, Demi Allah, tak ada seorangpun sepengetahuanku yang seperti aku kecuali seorang di Nashibin (kota di Aljazair), yakni Fulan. Temuilah ia!’
Maka setelah beliau wafat, aku menemui seseorang yang di Nashibin itu. Setelah aku bertemu dengannya, aku menceritakan keadaanku dan apa yang di perintahkan si Fulan kepadaku.
Orang itu berkata, ‘Silahkan tinggal bersamaku.’ Sekarang aku mulai hidup bersamanya. Aku dapati ia benar-benar seperti si Fulan yang aku pernah hidup bersamanya. Aku tinggal bersama seseorang yang sangat baik.
Namun, kematian hampir datang menjemputnya. Dan di ambang kematiannya aku berkata, ‘Wahai Fulan, Ketika itu si Fulan mewasiatkan aku kepada Fulan, dan kemarin Fulan mewasiatkan aku kepadamu? Sepeninggalmu nanti, kepada siapakah aku akan engkau wasiatkan? Dan apa yang akan engkau perintahkan kepadaku?’
Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, Demi Allah, tidak ada seorangpun yang aku kenal sehingga aku perintahkan kamu untuk mendatanginya kecuali seseorang yang tinggal di Amuria (kota di Romawi). Orang itu menganut keyakinan sebagaimana yang kita anut, jika kamu berkenan, silahkan mendatanginya. Dia pun menganut sebagaimana yang selama ini kami pegang.’
Setelah seseorang yang baik itu meninggal dunia, aku pergi menuju Amuria. Aku menceritakan perihal keadaanku kepadanya. Dia berkata, ‘Silahkan tinggal bersamaku.’
Akupun hidup bersama seseorang yang ditunjuk oleh kawannya yang sekeyakinan.
Di tempat orang itu, aku bekerja, sehingga aku memiliki beberapa ekor sapi dan kambing. Kemudian taqdir Allah pun berlaku untuknya. Ketika itu aku berkata, ‘Wahai Fulan, selama ini aku hidup bersama si Fulan, kemudian dia mewasiatkan aku untuk menemui Si Fulan, kemudian Si Fulan juga mewasiatkan aku agar menemui Fulan, kemudian Fulan mewasiatkan aku untuk menemuimu, sekarang kepada siapakah aku ini akan engkau wasiatkan?dan apa yang akan engkau perintahkan kepadaku?’
Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, demi Allah, aku tidak mengetahui seorangpun yang akan aku perintahkan kamu untuk mendatanginya. Akan tetapi telah hampir tiba waktu munculnya seorang nabi, dia diutus dengan membawa ajaran nabi Ibrahim. Nabi itu akan keluar diusir dari suatu tempat di Arab kemudian berhijrah menuju daerah antara dua perbukitan. Di antara dua bukit itu tumbuh pohon-pohon kurma. Pada diri nabi itu terdapat tanda-tanda yang tidak dapat disembunyikan, dia mau makan hadiah tetapi tidak mau menerima sedekah, di antara kedua bahunya terdapat tanda cincin kenabian. Jika engkau bisa menuju daerah itu, berangkatlah ke sana!’
Kemudian orang inipun meninggal dunia. Dan sepeninggalnya, aku masih tinggal di Amuria sesuai dengan yang dikehendaki Allah.
Pada suatu hari, lewat di hadapanku serombongan orang dari Kalb, mereka adalah pedagang. Aku berkata kepada para pedagang itu, ‘Bisakah kalian membawaku menuju tanah Arab dengan imbalan sapi dan kambing-kambingku?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Lalu aku memberikan ternakku kepada mereka.
Mereka membawaku, namun ketika tiba di Wadil Qura, mereka menzha-limiku, dengan menjualku sebagai budak ke tangan seorang Yahudi.
Kini aku tinggal di tempat seorang Yahudi. Aku melihat pohon-pohon kurma, aku berharap, mudah-mudahan ini daerah sebagaimana yang disebutkan si Fulan kepadaku. Aku tidak biasa hidup bebas.
Ketika aku berada di samping orang Yahudi itu, keponakannya datang dari Madinah dari Bani Quraidzah. Ia membeliku darinya. Kemudian membawaku ke Madinah. Begitu aku tiba di Madinah aku segera tahu berdasarkan apa yang disebutkan si Fulan kepadaku. Sekarang aku tinggal di Madinah.
Allah mengutus seorang RasulNya, dia telah tinggal di Makkah beberapa lama, yang aku sendiri tidak pernah mendengar ceritanya karena kesibukanku sebagai seorang budak. Kemudian Rasul itu berhijrah ke Madinah. Demi Allah, ketika aku berada di puncak pohon kurma majikanku karena aku bekerja di perkebunan, sementara majikanku duduk, tiba-tiba salah seorang keponakannya datang menghampiri, kemudian berkata, ‘Fulan,
Celakalah Bani Qailah (suku Aus dan Khazraj). Mereka kini sedang berkumpul di Quba’ menyambut seseorang yang datang dari Makkah pada hari ini. Mereka percaya bahwa orang itu Nabi.’
Tatkala aku mendengar pembicaraannya, aku gemetar sehingga aku khawatir jatuh menimpa majikanku. Kemudian aku turun dari pohon, dan bertanya kepada keponakan majikanku, ‘Apa tadi yang engkau katakan? Apa tadi yang engkau katakan?’ Majikanku sangat marah, dia memukulku dengan pukulan keras. Kemudian berkata, ‘Apa urusanmu menanyakan hal ini, Lanjutkan pekerjaanmu.’
Aku menjawab, ‘Tidak ada maksud apa-apa, aku hanya ingin mencari kejelasan terhadap apa yang dikatakan. Padahal sebenarnya saya telah memiliki beberapa informasi mengenai akan diutusnya seorang nabi itu.’
Pada sore hari, aku mengambil sejumlah bekal kemudian aku menuju Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam, ketika itu beliau sedang berada di Quba, lalu aku menemui beliau. Aku berkata, ‘Telah sampai kepadaku kabar bahwasanya engkau adalah seorang yang shalih, engkau memiliki beberapa orang sahabat yang dianggap asing dan miskin. Aku membawa sedikit sedekah, dan menurutku kalian lebih berhak menerima sedekahku ini daripada orang lain.’
Aku pun menyerahkan sedekah tersebut kepada beliau, kemudian Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda kepada para sahabat, ‘Silahkan kalian makan, sementara beliau tidak menyentuh sedekah itu dan tidak memakannya. Aku berkata, ‘Ini satu tanda kenabiannya.’
Aku pulang meninggalkan beliau untuk mengumpulkan sesuatu. Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam pun berpindah ke Madinah. Kemudian pada suatu hari, aku mendatangi beliau sambil berkata, ‘Aku memperhatikanmu tidak memakan pemberian berupa sedekah, sedangkan ini merupakan hadiah sebagai penghormatanku kepada engkau.’
Kemudian Rasulullah makan sebagian dari hadiah pemberianku dan memerintahkan para sahabat untuk memakannya, mereka pun makan hadiahku itu. Aku berkata dalam hati, ‘Inilah tanda kenabian yang kedua.’
Selanjutnya aku menemui beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau berada di kuburan Baqi’ al-Gharqad, beliau sedang mengantarkan jenazah salah seorang sahabat, beliau mengenakan dua lembar kain, ketika itu beliau sedang duduk di antara para sahabat, aku mengucapkan salam kepada beliau. Kemudian aku berputar memperhatikan punggung beliau, adakah aku akan melihat cincin yang disebutkan Si Fulan kepadaku.
Pada saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatku sedang memperhatikan beliau, beliau mengetahui bahwa aku sedang mencari kejelasan tentang sesuatu ciri kenabian yang disebutkan salah seorang kawanku. Kemudian beliau melepas kain selendang beliau dari punggung, aku berhasil melihat tanda cincin kenabian dan aku yakin bahwa beliau adalah seorang Nabi. Maka aku telungkup di hadapan beliau dan memeluknya seraya menangis.
Rasulullah bersabda kepadaku, ‘Geserlah kemari,’ maka akupun bergeser dan menceritakan perihal keadaanku sebagaimana yang aku ceritakan kepadamu ini wahai Ibnu Abbas. Kemudian para sahabat takjub kepada Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam ketika mendengar cerita perjalanan hidupku itu.”
Salman sibuk bekerja sebagai budak. Dan perbudakan inilah yang menyebabkan Salman terhalang mengikuti perang Badar dan Uhud. “Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam suatu hari bersabda kepadaku, ‘Mintalah kepada majikanmu untuk bebas, wahai Salman!’ Maka majikanku membebaskan aku dengan tebusan 300 pohon kurma yang harus aku tanam untuknya dan 40 uqiyah.
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salllam mengumpulkan para sahabat dan bersabda, ‘Berilah bantuan kepada saudara kalian ini.’ Mereka pun membantuku dengan memberi pohon (tunas) kurma. Seorang sahabat ada yang memberiku 30 pohon, atau 20 pohon, ada yang 15 pohon, dan ada yang 10 pohon, masing-masing sahabat memberiku pohon kurma sesuai dengan kadar kemampuan mereka, sehingga terkumpul benar-benar 300 pohon.
Setelah terkumpul Rasulullah bersabda kepadaku, ‘Berangkatlah wahai Salman dan tanamlah pohon kurma itu untuk majikanmu, jika telah selesai datanglah kemari aku akan meletakkannya di tanganku.’ Aku pun menanamnya dengan dibantu para sahabat. Setelah selesai aku menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salllam dan memberitahukan perihalku. Kemudian Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam keluar bersamaku menuju kebun yang aku tanami itu. Kami dekatkan pohon (tunas) kurma itu kepada beliau dan Rasulullah pun meletakkannya di tangan beliau. Maka, demi jiwa Salman yang berada di TanganNya, tidak ada sebatang pohon pun yang mati.
Untuk tebusan pohon kurma sudah terpenuhi, aku masih mempunyai tanggungan uang sebesar 40 uqiyah. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salllam membawa emas sebesar telur ayam hasil dari rampasan perang. Lantas beliau bersabda, ‘Apa yang telah dilakukan Salman al-Farisi?’ Kemudian aku dipanggil beliau, lalu beliau bersabda, ‘Ambillah emas ini, gunakan untuk melengkapi tebusanmu wahai Salman!’
Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salllam, bagaimana status emas ini bagiku? Rasulullah menjawab, ‘Ambil saja! Insya Allah, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberi kebaikan kepadanya.’ Kemudian aku menimbang emas itu. Demi jiwa Salman yang berada di TanganNya, berat ukuran emas itu 40 uqiyah. Kemudian aku penuhi tebusan yang harus aku serahkan kepada majikanku, dan aku dimerdekakan.
Setelah itu aku turut serta bersama Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallamdalam perang Khandaq, dan sejak itu tidak ada satu peperangan yang tidak aku ikuti.” [1]

Kisah Cinta Salman Al-Farisi
Sebuah kisah cinta menarik tercatat dalam sejarah hidup seorang shahabat Rasulullah, Salman Al-Farisi. Ia merupakan seorang mantan budak dari Isfahan Persia. Kisah cinta Salman terjadi saat ia tinggal di Madinah setelah menjadi muslim dan menjadi salah satu sahabat dekat Rasulullah.
Pada suatu waktu, Salman berkeinginan untuk menggenapkan dien dengan menikah. Selama ini, ia juga diam-diam menyukai seorang wanita salehah dari kalangan Anshar. Namun ia tak berani melamarnya. Sebagai seorang imigran, ia merasa asing dengan tempat tinggalnya, Madinah.
Bagaimana adat melamar wanita di kalangan masyarakat Madinah? Bagaimana tradisi Anshar saat mengkhitbah wanita? Demikian yang dipikirkan Salman. Ia tak tahu menahu mengenai budaya Arab. Tentu saja tak bisa sembarangan tiba-tiba datang mengkhitbah wanita tanpa persiapan matang. Salman pun kemudian mendatangi seorang sahabatnya yang merupakan penduduk asli Madinah, Abu Darda’. Ia bermaksud meminta bantuan Abu Darda’ untuk menemaninya saat mengkhitbah wanita impiannya. Mendengarnya, Abu Darda’ pun begitu girang. “Subhanallah wa Alhamdulillah,” ujarnya begitu senang mendengar sahabatnya berencana untuk menikah. Ia pun memeluk Salman dan bersedia membantu dan mendukungnya.
Setelah beberapa hari mempersiapkan segala sesuatu, Salman pun mendatangi rumah sang gadis dengan ditemani Abu Darda’. Keduanya begitu gembira. Setoiba di rumah wanita shalehah tersebut, keduanya pun diterima dengan baik oleh tuan rumah.

“Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman dari Persia. Allah telah memuliakan Salman dengan Islam. Salman juga telah memuliakan Islam dengan jihad dan amalannya. Ia memiliki hubungan dekat dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan Rasulullah menganggapnya sebagai ahlu bait (keluarga) nya,” ujar Abu Darda’ menggunakan dialek bahasa Arab setempat dengan sangat lancar dan fasih.

“Saya datang mewakili saudara saya, Salman, untuk melamar putri anda,” lanjut Abu Darda’ kepada wali si wanita, menjelaskan maksud kedatangan mereka. Mendengarnya, si tuan rumah merasa terhormat. Tentu saja, ia kedatangan dua orang sahabat Rasulullah yang utama. Salah satunya bahkan berkeinginan melamar putrinya. “Sebuah kehormatan bagi kami menerima shabat Rasulullah yang mulia. Sebuah kehormatan pula bagi keluarga kami jika memiliki menantu dari kalangan shahabat,” ujar ayah si wanita. Namun sang ayah tidaklah kemudian segera menerimanya. Seperti yang diajarkan Rasulullah, ia harus bertanya pendapat putrinya mengenai lamaran tersebut. Meski yang datang adalah seorang shahabat Rasul, sang ayah tetap meminta persetujuan sang putrid.

“Jawaban lamaran ini merupakan hak putri kami sepenuhnya. Oleh karena itu, saya serahkan kepada putri kami,” ujarnya kepada Abu Darda’ dan Salman AL Farisi. Sang tuan rumah pun kemudian memberikan isyarat kepada istri dan putrinya yang berada dibalik hijab. Rupanya, putrinya telah menanti memberikan pendapatnya mengenai pria yang melamarnya. Mewakili sang putrid, ibunya pun berkata, “Mohon maaf kami perlu berterus terang,” ujarnya membuat Salman dan Abu Darda’ tegang menanti jawaban.

“Maaf atas keterusterangan kami. Putri kami menolak lamaran Salman,” jawab ibu si wanita tentu saja akan menghancurkan hati Salman. Namun Salman tegar. Tak sampai disitu, sang ibunda melanjutkan jawaban putrinya, “Namun karena kalian berdua lah yang datang, dan mengharap ridha Allah, saya ingin menyampaikan bahwa putri kami akan menjawab iya jika Abu Darda’ memiliki keinginan yang sama seperti Salman,” kata ibu si wanita shalihah idaman Salman, wanita yang Salman inginkan untukmenjadi istrinya, wanita yang karenanya ia meminta bantuan Abu Darda’ untuk membantu pinangannya. Namun justru wanita itu memilih Abu Darda’, yang hanya menemani Salman.

Jika seperti pria pada umumnya, maka hati Salman pasti hancur berkeping-keeping. Ia akan merasakan patah hati yang teramat sangat. Namun Salman merupakan pria shaleh, seorang mulia dari kalangan shahabat Rasulullah. Dengan ketegaran hati yang luar biasa, ia justru menjawab, “Allahu akbar!” seru Salman girang. Tak hanya itu, Salman justru menawarkan bantuan untuk pernikahan keduanya. Tanpa perasaan hati yang hancur, ia memberikan semua harta benda yang ia siapkan untuk menikahi si wanita itu. “Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan akan kuberikan semua kepada Abu Darda’. Aku juga ajan menjadi saksi pernikahan kalian,” ujar Salman dengan kelapangan hati yang begitu hebat.

Demikian kisah cinta shabat Rasulullah yang mulia, Salman Al Farisi. Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari kisah tersebut. Ketegaran hati Salman patut dijadikan uswah. Ia pun tak kecewa dengan apa yang belum ia miliki meski ia sangat menginginkannya. Smoga Allah meridhai Salman dan menempatkannya pada surga yang tertinggi.
#subhaballah ya, jaman sekarang mah jarang tuh laki-laki yang kaya salman al farisi, yang ada malah "awas ye pulangnya" ahahaha :D insyaAllah masih ada laki-laki sholeh di dunia ini, kalaupun emang gak ada, di akhirat banyak :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar