Dari Abdullah bin Abbas Radhiallaahu ‘anhu berkata, “Salman al-Farisimenceritakan
biografinya kepadaku dari mulutnya sendiri. Dia berkata, ‘Aku seorang lelaki
Persia dari Isfahan, warga suatu desa bernama Jai. Ayahku adalah seorang tokoh
masyarakat yang mengerti pertanian. Aku sendiri yang paling disayangi ayahku
dari semua makhluk Allah. Karena sangat sayangnya aku tidak diperbolehkan
keluar rumahnya, aku diminta senantiasa berada di samping perapian, aku seperti
seorang budak saja.
Aku dilahirkan dan membaktikan diri di lingkungan Majusi, sehingga aku
sebagai penjaga api yang bertanggung jawab atas nyalanya api dan tidak
membiarkannya padam.
Ayahku memiliki tanah perahan yang luas. Pada suatu hari beliau sibuk
mengurus bangunan. Beliau berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, hari ini aku sibuk
di bangunan, aku tidak sempat mengurus tanah, cobalah engkau pergi ke sana!’
Beliau menyuruhku melakukan beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan.
Aku keluar menuju tanah ayahku. Dalam perjalanan aku melewati salah satu
gereja Nasrani. Aku mendengar suara mereka yang sedang sembahyang. Aku sendiri
tidak mengerti mengapa ayahku mengharuskan aku tinggal di dalam rumah saja
(melarang aku keluar rumah).
Tatkala aku melewati gereja mereka, dan aku mendengar suara mereka
sedang shalat maka aku masuk ke dalam gereja itu untuk mengetahui apa yang
sedang mereka lakukan?
Begitu aku melihat mereka, aku kagum dengan shalat mereka, dan aku ingin
mengetahui peribadatan mereka. Aku berkata dalam hati, ‘Demi Allah, ini lebih
baik dari agama yang kita anut selama ini.’
Demi Allah, aku tidak beranjak dari mereka sampai matahari terbenam. Aku
tidak jadi pergi ke tanah milik ayahku. Aku bertanya kepada mereka, ‘Dari mana
asal usul agama ini?’ Mereka menjawab, ‘Dari Syam (Syiria).’
Kemudian aku pulang ke rumah ayahku. Padahal ayahku telah mengutus
seseorang untuk mencariku. Sementara aku tidak mengerjakan tugas dari ayahku
sama sekali. Maka ketika aku telah bertemu ayahku, beliau bertanya, ‘Anakku, ke
mana saja kamu pergi?
Bukankah aku telah berpesan kepadamu untuk mengerjakan apa yang aku
perintahkan itu?’ Aku menjawab, ‘Ayah, aku lewat pada suatu kaum yang sedang
sembahyang di dalam gereja, ketika aku melihat ajaran agama mereka aku kagum.
Demi Allah, aku tidak beranjak dari tempat itu sampai matahari terbenam.’
Ayahku menjawab, ‘Wahai anakku, tidak ada kebaikan sedikitpun dalam
agama itu. Agamamu dan agama ayahmu lebih bagus dari agama itu.’ Aku membantah,
‘Demi Allah, sekali-kali tidak! Agama itu lebih bagus dari agama kita.’
Kemudian ayahku khawatir dengan diriku, sehingga beliau merantai kakiku, dan
aku dipenjara di dalam rumahnya.
Suatu hari ada serombongan orang dari agama Nasrani diutus menemuiku,
maka aku sampaikan kepada mereka, ‘Jika ada rombongan dari Syiria terdiri dari
para pedagang Nasrani, maka supaya aku diberitahu.’ Aku juga meminta agar
apabila para pedagang itu telah selesai urusannya dan akan kembali ke negrinya,
memberiku izin bisa menemui mereka.
Ketika para pedagang itu hendak kembali ke negrinya, mereka memberitahu
kepadaku. Kemudian rantai besi yang mengikat kakiku aku lepas, lantas aku pergi
bersama mereka sehingga aku tiba di Syiria.
Sesampainya aku di Syiria, aku bertanya, ‘Siapakah orang yang ahli agama
di sini?’ Mereka menjawab, ‘Uskup (pendeta) yang tinggal di gereja.’ Kemudian
aku menemuinya. Kemudian aku berkata kepada pendeta itu, ‘Aku sangat mencintai
agama ini, dan aku ingin tinggal bersamamu, aku akan membantumu di gerejamu,
agar aku dapat belajar denganmu dan sembahyang bersama-sama kamu.’ Pendeta itu
menjawab, ‘Silahkan.’
Maka akupun tinggal bersamanya.
Ternyata pendeta itu seorang yang jahat, dia menyuruh dan menganjurkan
umat untuk bersedekah, namun setelah sedekah itu terkumpul dan diserahkan
kepadanya, ia menyimpan sedekah tersebut untuk dirinya sendiri, tidak diberikan
kepada orang-orang miskin, sehingga terkumpullah 7 peti emas dan perak.
Aku sangat benci perbuatan pendeta itu. Kemudian dia meninggal.
Orang-orang Nasrani pun berkumpul untuk mengebumikannya. Ketika itu aku
sampaikan kepada khalayak, ‘Sebenarnya, pendeta ini adalah seorang yang
berperangai buruk, menyuruh dan menganjurkan kalian untuk bersedekah. Tetapi
jika sedekah itu telah terkumpul, dia menyimpannya untuk dirinya sendiri, tidak
memberikannya kepada orang-orang miskin barang sedikitpun.’
Mereka pun mempertanyakan apa yang aku sampaikan, ‘Apa buktinya bahwa
kamu mengetahui akan hal itu?’ Aku menjawab, ‘Marilah aku tunjukkan kepada
kalian simpanannya itu.’ Mereka berkata, Baik, tunjukkan simpanan tersebut
kepada kami.’
Lalu Aku memperlihatkan tempat penyimpanan sedekah itu. Kemudian mereka
mengeluarkan sebanyak 7 peti yang penuh berisi emas dan perak. Setelah mereka
menyaksikan betapa banyaknya simpanan pendeta itu, mereka berkata, ‘Demi Allah,
selamanya kami tidak akan menguburnya.’ Kemudian mereka menyalib pendeta itu
pada tiang dan melempari jasadnya dengan batu.
Kemudian mereka mengangkat orang lain sebagai penggantinya. Aku tidak
pernah melihat seseorang yang tidak mengerjakan shalat lima waktu (bukan
seorang muslim) yang lebih bagus dari dia, dia sangat zuhud, sangat mencintai
akhirat, dan selalu beribadah siang malam. Maka aku pun sangat mencintainya
dengan cinta yang tidak pernah aku berikan kepada selainnya. Aku tinggal
bersamanya beberapa waktu.
Kemudian ketika kematiannya menjelang, aku berkata kepadanya, ‘Wahai
Fulan, selama ini aku hidup bersamamu, dan aku sangat mencintaimu, belum pernah
ada seorangpun yang aku cintai seperti cintaku kepadamu, padahal sebagaimana
kamu lihat, telah menghampirimu saat berlakunya taqdir Allah, kepada siapakah
aku ini engkau wasiatkan, apa yang engkau perintahkan kepadaku?’
Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, demi Allah, sekarang ini aku sudah
tidak tahu lagi siapa yang mempunyai keyakinan seperti aku.
Orang-orang yang aku kenal telah mati, dan masyarakatpun mengganti
ajaran yang benar dan meninggalkannya sebagiannya, kecuali seorang yang tinggal
di Mosul (kota di Irak), yakni Fulan, dia memegang keyakinan seperti aku ini,
temuilah ia di sana!’
Lalu tatkala ia telah wafat, aku berangkat untuk menemui seseorang di
Mosul. Aku berkata, ‘Wahai Fulan, sesungguhnya si Fulan telah mewasiatkan
kepadaku menjelang kematiannya agar aku menemuimu, dia memberitahuku bahwa
engkau memiliki keyakinan sebagaimana dia.’
Kemudian orang yang kutemui itu berkata, ‘Silahkan tinggal bersamaku.
Aku pun hidup bersamanya.’ Aku dapati ia sangat baik sebagaimana yang
diterangkan Si Fulan kepadaku. Namun ia pun dihampiri kematian. Dan ketika
kematian menjelang, aku bertanya kepadanya, ‘Wahai Fulan, ketika itu si Fulan
mewasiatkan aku kepadamu dan agar aku menemuimu, kini taqdir Allah akan berlaku
atasmu sebagaimana engkau maklumi, oleh karena itu kepada siapakah aku ini
hendak engkau wasiatkan? Dan apa yang engkau perintahkan kepadaku?’
Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, Demi Allah, tak ada seorangpun
sepengetahuanku yang seperti aku kecuali seorang di Nashibin (kota di
Aljazair), yakni Fulan. Temuilah ia!’
Maka setelah beliau wafat, aku menemui seseorang yang di Nashibin itu.
Setelah aku bertemu dengannya, aku menceritakan keadaanku dan apa yang di
perintahkan si Fulan kepadaku.
Orang itu berkata, ‘Silahkan tinggal bersamaku.’ Sekarang aku mulai
hidup bersamanya. Aku dapati ia benar-benar seperti si Fulan yang aku pernah
hidup bersamanya. Aku tinggal bersama seseorang yang sangat baik.
Namun, kematian hampir datang menjemputnya. Dan di ambang kematiannya
aku berkata, ‘Wahai Fulan, Ketika itu si Fulan mewasiatkan aku kepada Fulan,
dan kemarin Fulan mewasiatkan aku kepadamu? Sepeninggalmu nanti, kepada
siapakah aku akan engkau wasiatkan? Dan apa yang akan engkau perintahkan
kepadaku?’
Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, Demi Allah, tidak ada seorangpun yang
aku kenal sehingga aku perintahkan kamu untuk mendatanginya kecuali seseorang
yang tinggal di Amuria (kota di Romawi). Orang itu menganut keyakinan
sebagaimana yang kita anut, jika kamu berkenan, silahkan mendatanginya. Dia pun
menganut sebagaimana yang selama ini kami pegang.’
Setelah seseorang yang baik itu meninggal dunia, aku pergi menuju
Amuria. Aku menceritakan perihal keadaanku kepadanya. Dia berkata, ‘Silahkan
tinggal bersamaku.’
Akupun hidup bersama seseorang yang ditunjuk oleh kawannya yang
sekeyakinan.
Di tempat orang itu, aku bekerja, sehingga aku memiliki beberapa ekor
sapi dan kambing. Kemudian taqdir Allah pun berlaku untuknya. Ketika itu aku
berkata, ‘Wahai Fulan, selama ini aku hidup bersama si Fulan, kemudian dia
mewasiatkan aku untuk menemui Si Fulan, kemudian Si Fulan juga mewasiatkan aku
agar menemui Fulan, kemudian Fulan mewasiatkan aku untuk menemuimu, sekarang
kepada siapakah aku ini akan engkau wasiatkan?dan apa yang akan engkau
perintahkan kepadaku?’
Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, demi Allah, aku tidak mengetahui
seorangpun yang akan aku perintahkan kamu untuk mendatanginya. Akan tetapi
telah hampir tiba waktu munculnya seorang nabi, dia diutus dengan membawa
ajaran nabi Ibrahim. Nabi itu akan keluar diusir dari suatu tempat di Arab
kemudian berhijrah menuju daerah antara dua perbukitan. Di antara dua bukit itu
tumbuh pohon-pohon kurma. Pada diri nabi itu terdapat tanda-tanda yang tidak
dapat disembunyikan, dia mau makan hadiah tetapi tidak mau menerima sedekah, di
antara kedua bahunya terdapat tanda cincin kenabian. Jika engkau bisa menuju
daerah itu, berangkatlah ke sana!’
Kemudian orang inipun meninggal dunia. Dan sepeninggalnya, aku masih
tinggal di Amuria sesuai dengan yang dikehendaki Allah.
Pada suatu hari, lewat di hadapanku serombongan orang dari Kalb, mereka
adalah pedagang. Aku berkata kepada para pedagang itu, ‘Bisakah kalian
membawaku menuju tanah Arab dengan imbalan sapi dan kambing-kambingku?’ Mereka
menjawab, ‘Ya.’ Lalu aku memberikan ternakku kepada mereka.
Mereka membawaku, namun ketika tiba di Wadil Qura, mereka menzha-limiku,
dengan menjualku sebagai budak ke tangan seorang Yahudi.
Kini aku tinggal di tempat seorang Yahudi. Aku melihat pohon-pohon
kurma, aku berharap, mudah-mudahan ini daerah sebagaimana yang disebutkan si
Fulan kepadaku. Aku tidak biasa hidup bebas.
Ketika aku berada di samping orang Yahudi itu, keponakannya datang dari
Madinah dari Bani Quraidzah. Ia membeliku darinya. Kemudian membawaku ke
Madinah. Begitu aku tiba di Madinah aku segera tahu berdasarkan apa yang
disebutkan si Fulan kepadaku. Sekarang aku tinggal di Madinah.
Allah mengutus seorang RasulNya, dia telah tinggal di Makkah beberapa
lama, yang aku sendiri tidak pernah mendengar ceritanya karena kesibukanku
sebagai seorang budak. Kemudian Rasul itu berhijrah ke Madinah. Demi Allah,
ketika aku berada di puncak pohon kurma majikanku karena aku bekerja di
perkebunan, sementara majikanku duduk, tiba-tiba salah seorang keponakannya
datang menghampiri, kemudian berkata, ‘Fulan,
Celakalah Bani Qailah (suku Aus dan Khazraj). Mereka kini sedang
berkumpul di Quba’ menyambut seseorang yang datang dari Makkah pada hari ini.
Mereka percaya bahwa orang itu Nabi.’
Tatkala aku mendengar pembicaraannya, aku gemetar sehingga aku khawatir
jatuh menimpa majikanku. Kemudian aku turun dari pohon, dan bertanya kepada
keponakan majikanku, ‘Apa tadi yang engkau katakan? Apa tadi yang engkau
katakan?’ Majikanku sangat marah, dia memukulku dengan pukulan keras. Kemudian
berkata, ‘Apa urusanmu menanyakan hal ini, Lanjutkan pekerjaanmu.’
Aku menjawab, ‘Tidak ada maksud apa-apa, aku hanya ingin mencari
kejelasan terhadap apa yang dikatakan. Padahal sebenarnya saya telah memiliki
beberapa informasi mengenai akan diutusnya seorang nabi itu.’
Pada sore hari, aku mengambil sejumlah bekal kemudian aku menuju
Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam, ketika itu beliau sedang berada di
Quba, lalu aku menemui beliau. Aku berkata, ‘Telah sampai kepadaku kabar
bahwasanya engkau adalah seorang yang shalih, engkau memiliki beberapa orang
sahabat yang dianggap asing dan miskin. Aku membawa sedikit sedekah, dan
menurutku kalian lebih berhak menerima sedekahku ini daripada orang lain.’
Aku pun menyerahkan sedekah tersebut kepada beliau, kemudian Rasulullah
shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda kepada para sahabat, ‘Silahkan kalian
makan, sementara beliau tidak menyentuh sedekah itu dan tidak memakannya. Aku
berkata, ‘Ini satu tanda kenabiannya.’
Aku pulang meninggalkan beliau untuk mengumpulkan sesuatu. Rasulullah
shallallohu ‘alaihi wasallam pun berpindah ke Madinah. Kemudian pada suatu
hari, aku mendatangi beliau sambil berkata, ‘Aku memperhatikanmu tidak memakan
pemberian berupa sedekah, sedangkan ini merupakan hadiah sebagai penghormatanku
kepada engkau.’
Kemudian Rasulullah makan sebagian dari hadiah pemberianku dan
memerintahkan para sahabat untuk memakannya, mereka pun makan hadiahku itu. Aku
berkata dalam hati, ‘Inilah tanda kenabian yang kedua.’
Selanjutnya aku menemui beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau
berada di kuburan Baqi’ al-Gharqad, beliau sedang mengantarkan jenazah salah
seorang sahabat, beliau mengenakan dua lembar kain, ketika itu beliau sedang
duduk di antara para sahabat, aku mengucapkan salam kepada beliau. Kemudian aku
berputar memperhatikan punggung beliau, adakah aku akan melihat cincin yang
disebutkan Si Fulan kepadaku.
Pada saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatku sedang
memperhatikan beliau, beliau mengetahui bahwa aku sedang mencari kejelasan
tentang sesuatu ciri kenabian yang disebutkan salah seorang kawanku. Kemudian
beliau melepas kain selendang beliau dari punggung, aku berhasil melihat tanda
cincin kenabian dan aku yakin bahwa beliau adalah seorang Nabi. Maka aku
telungkup di hadapan beliau dan memeluknya seraya menangis.
Rasulullah bersabda kepadaku, ‘Geserlah kemari,’ maka akupun bergeser
dan menceritakan perihal keadaanku sebagaimana yang aku ceritakan kepadamu ini
wahai Ibnu Abbas. Kemudian para sahabat takjub kepada Rasulullah shallallohu
‘alaihi wasallam ketika mendengar cerita perjalanan hidupku itu.”
Salman sibuk bekerja sebagai budak. Dan perbudakan inilah yang
menyebabkan Salman terhalang mengikuti perang Badar dan Uhud. “Rasulullah
shallallohu ‘alaihi wasallam suatu hari bersabda kepadaku, ‘Mintalah kepada
majikanmu untuk bebas, wahai Salman!’ Maka majikanku membebaskan aku dengan
tebusan 300 pohon kurma yang harus aku tanam untuknya dan 40 uqiyah.
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salllam mengumpulkan
para sahabat dan bersabda, ‘Berilah bantuan kepada saudara kalian ini.’ Mereka
pun membantuku dengan memberi pohon (tunas) kurma. Seorang sahabat ada yang
memberiku 30 pohon, atau 20 pohon, ada yang 15 pohon, dan ada yang 10 pohon,
masing-masing sahabat memberiku pohon kurma sesuai dengan kadar kemampuan
mereka, sehingga terkumpul benar-benar 300 pohon.
Setelah terkumpul Rasulullah bersabda kepadaku, ‘Berangkatlah wahai
Salman dan tanamlah pohon kurma itu untuk majikanmu, jika telah selesai
datanglah kemari aku akan meletakkannya di tanganku.’ Aku pun menanamnya dengan
dibantu para sahabat. Setelah selesai aku menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salllam dan memberitahukan
perihalku. Kemudian Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam keluar bersamaku
menuju kebun yang aku tanami itu. Kami dekatkan pohon (tunas) kurma itu kepada
beliau dan Rasulullah pun meletakkannya di tangan beliau. Maka, demi jiwa
Salman yang berada di TanganNya, tidak ada sebatang pohon pun yang mati.
Untuk tebusan pohon kurma sudah terpenuhi, aku masih mempunyai
tanggungan uang sebesar 40 uqiyah. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salllam membawa emas
sebesar telur ayam hasil dari rampasan perang. Lantas beliau bersabda, ‘Apa
yang telah dilakukan Salman al-Farisi?’ Kemudian aku dipanggil beliau, lalu
beliau bersabda, ‘Ambillah emas ini, gunakan untuk melengkapi tebusanmu wahai
Salman!’
Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salllam,
bagaimana status emas ini bagiku? Rasulullah menjawab, ‘Ambil saja! Insya
Allah, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberi kebaikan kepadanya.’ Kemudian aku
menimbang emas itu. Demi jiwa Salman yang berada di TanganNya, berat ukuran
emas itu 40 uqiyah. Kemudian aku penuhi tebusan yang harus aku serahkan kepada
majikanku, dan aku dimerdekakan.
Setelah itu aku turut serta bersama Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallamdalam perang Khandaq, dan
sejak itu tidak ada satu peperangan yang tidak aku ikuti.” [1]
Kisah
Cinta Salman Al-Farisi
Sebuah kisah cinta menarik tercatat dalam sejarah hidup seorang shahabat Rasulullah, Salman Al-Farisi. Ia merupakan seorang mantan budak dari Isfahan Persia. Kisah cinta Salman terjadi saat ia tinggal di Madinah setelah menjadi muslim dan menjadi salah satu sahabat dekat Rasulullah.
Sebuah kisah cinta menarik tercatat dalam sejarah hidup seorang shahabat Rasulullah, Salman Al-Farisi. Ia merupakan seorang mantan budak dari Isfahan Persia. Kisah cinta Salman terjadi saat ia tinggal di Madinah setelah menjadi muslim dan menjadi salah satu sahabat dekat Rasulullah.
Pada suatu
waktu, Salman berkeinginan untuk menggenapkan dien dengan menikah. Selama ini,
ia juga diam-diam menyukai seorang wanita salehah dari kalangan Anshar. Namun
ia tak berani melamarnya. Sebagai seorang imigran, ia merasa asing dengan
tempat tinggalnya, Madinah.
Bagaimana adat melamar wanita di kalangan masyarakat Madinah? Bagaimana tradisi Anshar saat mengkhitbah wanita? Demikian yang dipikirkan Salman. Ia tak tahu menahu mengenai budaya Arab. Tentu saja tak bisa sembarangan tiba-tiba datang mengkhitbah wanita tanpa persiapan matang. Salman pun kemudian mendatangi seorang sahabatnya yang merupakan penduduk asli Madinah, Abu Darda’. Ia bermaksud meminta bantuan Abu Darda’ untuk menemaninya saat mengkhitbah wanita impiannya. Mendengarnya, Abu Darda’ pun begitu girang. “Subhanallah wa Alhamdulillah,” ujarnya begitu senang mendengar sahabatnya berencana untuk menikah. Ia pun memeluk Salman dan bersedia membantu dan mendukungnya.
Setelah beberapa hari mempersiapkan segala sesuatu, Salman pun mendatangi rumah sang gadis dengan ditemani Abu Darda’. Keduanya begitu gembira. Setoiba di rumah wanita shalehah tersebut, keduanya pun diterima dengan baik oleh tuan rumah.
“Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman dari Persia. Allah telah memuliakan Salman dengan Islam. Salman juga telah memuliakan Islam dengan jihad dan amalannya. Ia memiliki hubungan dekat dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan Rasulullah menganggapnya sebagai ahlu bait (keluarga) nya,” ujar Abu Darda’ menggunakan dialek bahasa Arab setempat dengan sangat lancar dan fasih.
“Saya datang mewakili saudara saya, Salman, untuk melamar putri anda,” lanjut Abu Darda’ kepada wali si wanita, menjelaskan maksud kedatangan mereka. Mendengarnya, si tuan rumah merasa terhormat. Tentu saja, ia kedatangan dua orang sahabat Rasulullah yang utama. Salah satunya bahkan berkeinginan melamar putrinya. “Sebuah kehormatan bagi kami menerima shabat Rasulullah yang mulia. Sebuah kehormatan pula bagi keluarga kami jika memiliki menantu dari kalangan shahabat,” ujar ayah si wanita. Namun sang ayah tidaklah kemudian segera menerimanya. Seperti yang diajarkan Rasulullah, ia harus bertanya pendapat putrinya mengenai lamaran tersebut. Meski yang datang adalah seorang shahabat Rasul, sang ayah tetap meminta persetujuan sang putrid.
“Jawaban lamaran ini merupakan hak putri kami sepenuhnya. Oleh karena itu, saya serahkan kepada putri kami,” ujarnya kepada Abu Darda’ dan Salman AL Farisi. Sang tuan rumah pun kemudian memberikan isyarat kepada istri dan putrinya yang berada dibalik hijab. Rupanya, putrinya telah menanti memberikan pendapatnya mengenai pria yang melamarnya. Mewakili sang putrid, ibunya pun berkata, “Mohon maaf kami perlu berterus terang,” ujarnya membuat Salman dan Abu Darda’ tegang menanti jawaban.
“Maaf atas keterusterangan kami. Putri kami menolak lamaran Salman,” jawab ibu si wanita tentu saja akan menghancurkan hati Salman. Namun Salman tegar. Tak sampai disitu, sang ibunda melanjutkan jawaban putrinya, “Namun karena kalian berdua lah yang datang, dan mengharap ridha Allah, saya ingin menyampaikan bahwa putri kami akan menjawab iya jika Abu Darda’ memiliki keinginan yang sama seperti Salman,” kata ibu si wanita shalihah idaman Salman, wanita yang Salman inginkan untukmenjadi istrinya, wanita yang karenanya ia meminta bantuan Abu Darda’ untuk membantu pinangannya. Namun justru wanita itu memilih Abu Darda’, yang hanya menemani Salman.
Jika seperti pria pada umumnya, maka hati Salman pasti hancur berkeping-keeping. Ia akan merasakan patah hati yang teramat sangat. Namun Salman merupakan pria shaleh, seorang mulia dari kalangan shahabat Rasulullah. Dengan ketegaran hati yang luar biasa, ia justru menjawab, “Allahu akbar!” seru Salman girang. Tak hanya itu, Salman justru menawarkan bantuan untuk pernikahan keduanya. Tanpa perasaan hati yang hancur, ia memberikan semua harta benda yang ia siapkan untuk menikahi si wanita itu. “Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan akan kuberikan semua kepada Abu Darda’. Aku juga ajan menjadi saksi pernikahan kalian,” ujar Salman dengan kelapangan hati yang begitu hebat.
Demikian kisah cinta shabat Rasulullah yang mulia, Salman Al Farisi. Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari kisah tersebut. Ketegaran hati Salman patut dijadikan uswah. Ia pun tak kecewa dengan apa yang belum ia miliki meski ia sangat menginginkannya. Smoga Allah meridhai Salman dan menempatkannya pada surga yang tertinggi.
Bagaimana adat melamar wanita di kalangan masyarakat Madinah? Bagaimana tradisi Anshar saat mengkhitbah wanita? Demikian yang dipikirkan Salman. Ia tak tahu menahu mengenai budaya Arab. Tentu saja tak bisa sembarangan tiba-tiba datang mengkhitbah wanita tanpa persiapan matang. Salman pun kemudian mendatangi seorang sahabatnya yang merupakan penduduk asli Madinah, Abu Darda’. Ia bermaksud meminta bantuan Abu Darda’ untuk menemaninya saat mengkhitbah wanita impiannya. Mendengarnya, Abu Darda’ pun begitu girang. “Subhanallah wa Alhamdulillah,” ujarnya begitu senang mendengar sahabatnya berencana untuk menikah. Ia pun memeluk Salman dan bersedia membantu dan mendukungnya.
Setelah beberapa hari mempersiapkan segala sesuatu, Salman pun mendatangi rumah sang gadis dengan ditemani Abu Darda’. Keduanya begitu gembira. Setoiba di rumah wanita shalehah tersebut, keduanya pun diterima dengan baik oleh tuan rumah.
“Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman dari Persia. Allah telah memuliakan Salman dengan Islam. Salman juga telah memuliakan Islam dengan jihad dan amalannya. Ia memiliki hubungan dekat dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan Rasulullah menganggapnya sebagai ahlu bait (keluarga) nya,” ujar Abu Darda’ menggunakan dialek bahasa Arab setempat dengan sangat lancar dan fasih.
“Saya datang mewakili saudara saya, Salman, untuk melamar putri anda,” lanjut Abu Darda’ kepada wali si wanita, menjelaskan maksud kedatangan mereka. Mendengarnya, si tuan rumah merasa terhormat. Tentu saja, ia kedatangan dua orang sahabat Rasulullah yang utama. Salah satunya bahkan berkeinginan melamar putrinya. “Sebuah kehormatan bagi kami menerima shabat Rasulullah yang mulia. Sebuah kehormatan pula bagi keluarga kami jika memiliki menantu dari kalangan shahabat,” ujar ayah si wanita. Namun sang ayah tidaklah kemudian segera menerimanya. Seperti yang diajarkan Rasulullah, ia harus bertanya pendapat putrinya mengenai lamaran tersebut. Meski yang datang adalah seorang shahabat Rasul, sang ayah tetap meminta persetujuan sang putrid.
“Jawaban lamaran ini merupakan hak putri kami sepenuhnya. Oleh karena itu, saya serahkan kepada putri kami,” ujarnya kepada Abu Darda’ dan Salman AL Farisi. Sang tuan rumah pun kemudian memberikan isyarat kepada istri dan putrinya yang berada dibalik hijab. Rupanya, putrinya telah menanti memberikan pendapatnya mengenai pria yang melamarnya. Mewakili sang putrid, ibunya pun berkata, “Mohon maaf kami perlu berterus terang,” ujarnya membuat Salman dan Abu Darda’ tegang menanti jawaban.
“Maaf atas keterusterangan kami. Putri kami menolak lamaran Salman,” jawab ibu si wanita tentu saja akan menghancurkan hati Salman. Namun Salman tegar. Tak sampai disitu, sang ibunda melanjutkan jawaban putrinya, “Namun karena kalian berdua lah yang datang, dan mengharap ridha Allah, saya ingin menyampaikan bahwa putri kami akan menjawab iya jika Abu Darda’ memiliki keinginan yang sama seperti Salman,” kata ibu si wanita shalihah idaman Salman, wanita yang Salman inginkan untukmenjadi istrinya, wanita yang karenanya ia meminta bantuan Abu Darda’ untuk membantu pinangannya. Namun justru wanita itu memilih Abu Darda’, yang hanya menemani Salman.
Jika seperti pria pada umumnya, maka hati Salman pasti hancur berkeping-keeping. Ia akan merasakan patah hati yang teramat sangat. Namun Salman merupakan pria shaleh, seorang mulia dari kalangan shahabat Rasulullah. Dengan ketegaran hati yang luar biasa, ia justru menjawab, “Allahu akbar!” seru Salman girang. Tak hanya itu, Salman justru menawarkan bantuan untuk pernikahan keduanya. Tanpa perasaan hati yang hancur, ia memberikan semua harta benda yang ia siapkan untuk menikahi si wanita itu. “Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan akan kuberikan semua kepada Abu Darda’. Aku juga ajan menjadi saksi pernikahan kalian,” ujar Salman dengan kelapangan hati yang begitu hebat.
Demikian kisah cinta shabat Rasulullah yang mulia, Salman Al Farisi. Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari kisah tersebut. Ketegaran hati Salman patut dijadikan uswah. Ia pun tak kecewa dengan apa yang belum ia miliki meski ia sangat menginginkannya. Smoga Allah meridhai Salman dan menempatkannya pada surga yang tertinggi.
#subhaballah ya, jaman sekarang mah jarang tuh laki-laki yang kaya salman al farisi, yang ada malah "awas ye pulangnya" ahahaha :D insyaAllah masih ada laki-laki sholeh di dunia ini, kalaupun emang gak ada, di akhirat banyak :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar